Kamis, 19 Agustus 2010

Cerita Samarinda dan Balikpapan

Indonesia tidak punya semua ini pada awalnya, kecuali kesamaan sejarah dijajah Belanda

Dari kamar saya di Balikpapan, terbentang laut luas dan teduh. Namanya Selat Makassar. Bentangan air ini merupakan selat yang terletak di antara Pulau Kalimantan dan Sulawesi di Indonesia. Selat ini juga menghubungkan Laut Sulawesi di bagian utara dengan Laut Jawa di bagian selatan. Selat Makassar termasuk kategori laut dalam dan merupakan salah satu Alur Laut Kepulauan Indonesia. Kota pelabuhan utama di selat ini ialah Balikpapan, Makassar, dan Palu. Tempat ini juga menjadi lokasi jatuhnya pesawat Adam Air Penerbangan yang menewaskan 102 penumpang dan awak pesawat pada 1 Januari 2007.

Okelah, jangan melantur. Ini hanya kutipan dari Wikipedia. Pikiran asli saya sedang merenungkan, berapa jauh pantai Sulawesi itu dari kamar saya. Ada tidak, ya, orang yang sanggup berenang ke seberang? Selat Sunda sudah, Selat Inggris sudah. Malah ada yang menyeberang lautan Atlantik. Saya punya teman yang bisa berenang dari pantai Makassar ke pulau lepas pantai. Mungkin bisa berlatih untuk menyeberang dari Balikpapan ke Palu. Mungkin kalau terbawa arus, bisa mendarat di Mamuju. Disitu banyak hutan yang menyimpan sumber oxygen dan bisa dijadikan modal carbon trading menangkal keparahan pemanasan global.

Ngelantur lagi. Memang memandang laut lepas itu mengundang orang untuk melamun. Kalau orang sedang menghadapi persoalan pribadi, maka lamunannya makin merupakan lamunan masalah pribadi. Tapi kalau agenda curhat sedang kosong, maka kita ngelamun soal lain. Satu soal yang mengisi kepala dan hati saya selama perjalanan ke Samarinda dan Balikpapan adalah mengapa bisa tempat-tempat ini yang begitu jauh dari Jakarta, Banda Aceh dan Manokwari bisa tergabung dalam satu negara yaitu Indonesia.

Waktu saya kecil, sekolah mengajarkan bahwa Indonesia itu muncul karena Sumpah Pemuda, semangat merah putih dengan maju tak gentar, jiwa merdeka atau mati, dan konsep NKRI. Semua betul, tapi tetap saya heran mengapa Kaltim ingin tetap menjadi bagian Indonesia dan menjadi penyumbang pada negara besar Indonesia. Sedangkan leluhur Sultan Hasanah Bolkiah dari dulu tidak mau bergabung pada Federasi Malaya atau Malaysia, dan bertahan sebagai negara merdeka dimana penduduknya menjadi tuan rumah dan minyaknya diambil oleh perusahaan Inggris. Semua pekerjaan dilakukan oleh orang asing temasuk warung-warung yang diurus orang Melayu dari Malaysia dan Indonesia.

Istana Sultan punya 2000 kamar yang membuat saya berpikir dulu, harus banyak pesawat telpon di tiap kamar. Sekarang tentu tinggal dibagi PDA, orang tidak makin hilang di rumah yang lima kali lebih besar dari hotel bintang lima. Di Balikpapan ini bagus-bagus hotelnya, walaupun tidak 2000 kamar. Yang paling bagus diurus perusahaan hotel internasional. Bagi saya tidak jadi soal, malah bagus, tapi banyak orang yang suka tersinggung kalau ada orang asing kerja di Indonesia. Padahal, tanpa orang asing, tidak ada negara yang bisa maju cepat. China, India, Saudi Arabia, Iran semuanya maju karena ada investasi asing. Apalagi Brunei dan Singapura. Lalu, mengapa Kaltim menjadi bagian Indonesia dengan tenang?

Memang banyak keluhan mengenai ketidak adilan anggaran pusat setelah desentralisasi, tapi tidak ada yang bermimpi untuk membuat negara sendiri. Penduduk Kaltim sangat kosmopolitan, pluralis dan demokratis. Karena itu masa depan mereka aman di negara yang sedang berusaha kuat untuk melanjutkan perjalan menjadi negara kosmopolitan, pluralis dan demokratis.

Negara adalah kumpulan orang yang share kebersamaan dalam sejarah, budaya, bahasa atau asal etnis. Indonesia tidak punya semua ini pada awalnya, kecuali kebersamaan sejarah dijajah Belanda. Setelah merdeka, kebersamaan sejarah kita tambah tebal lagi, Bersama-sama ditekan sistem politik yang tidak stabil. Penderitaan bersama membentuk kebersamaan, jadi modal kita cukup dengan tambahan terakhir soal KPK-Polri.

Tapi semua kebersamaan itu berada dalam pikiran orang yang memandangnya. Sekali orang kehilangan perasaan itu, atau istilahnya ‘hilfil’ mengenai Negara kita, maka orang akan melihat Selat Makassar dan merasa jauh dari wilayah Indonesia lain. Tapi selama masih ada perasaan, ia akan bersyukur bahwa bagian Indonesia yang paling runyam tidak berada di bumi Kaltim, tapi tetap merasa tidak terpisahkan dari temannya di seberang laut dan gunung dan hutan belantara.


Sumber :
Wimar Witoelar
http://areamagz.com/blog/read/wimar-says/2010/02/02/cerita-samarinda-dan-balikpapan
2 Februari 2010

1 komentar:

  1. Assalamualaikum wr.wb mohon maaf kepada teman teman jika postingan saya mengganggu anda namun apa yang saya tulis ini adalah kisah nyata dari saya dan kini saya sangat berterimah kasih banyak kepada Mbah Rawa Gumpala atas bantuan pesugihan putihnya tampa tumbal yang sebesar 15m kini kehidupa saya bersama keluarga sudah sangat jauh lebih baik dari sebelumnya,,saya sekaran bisa menjalanka usaha saya lagi seperti dahulu dan mudah mudahan usaha saya ini bisa sukses kembali dan bermanfaat juga bagi orang lain,,ini semua berkat bantuan Mbah Rawa Gumpala dan ucapa beliau tidak bisa diragukan lagi,bagi teman teman yang ingin dibantuh seperti saya dengan pesugihan putih bisa anda hubungi di no 085 316 106 111 jangan anda ragu untuk menghubuni beliau karna saya sudah membuktikannya sendiri,karna Mbah tidak sama seperti dukun yang lain yang menghabiskan uang saja dan tidak ada bukti sedankan kalau beliau semuanya terbukti nyata dan sangat dipercay,,ini unkapan kisah nyata dari saya pak Rudi di semarang.Untuk lebih lenkapnya silahkan buka blok Mbah di ��PESUGIHAN PUTIH TANPA TUMBAL��

    BalasHapus